Bandara selalu punya caranya sendiri untuk menampung perasaan yang berjejal — rindu yang tertahan, kelegaan yang akhirnya bernapas, atau bahkan sunyi yang tak terkatakan. Malam itu, aku berdiri di antara riuhnya orang-orang yang datang dan pergi, menunggu sosok yang akhirnya kembali setelah lebih dari satu bulan meninggalkan Jakarta.
Dan di antara lautan manusia yang berjalan tergesa, aku melihatnya.
Ia melangkah mendekat, koper di satu tangan, dan tas berisi oleh-oleh di tangan lainnya. Ketika tiba di hadapanku, ia menyerahkan sesuatu — buku, dan beberapa benda lain yang ia bawa dari London.
“Buat kamu,” katanya singkat.
Aku mengambilnya, jari-jariku menyentuh sampul buku itu sejenak sebelum akhirnya menatapnya lebih lama. Ada sesuatu dalam caranya menatapku malam itu, seolah ingin mengingat lagi setiap detail yang sempat ia tinggalkan.
Kami berjalan keluar, lalu masuk ke dalam mobil. Ia duduk di kursi pengemudi, aku di sebelah kiri, dan tanpa banyak bicara, ia mulai menyusuri jalanan Jakarta yang masih sibuk meski malam sudah larut.
Awalnya kami hanya diam. Aku tidak terburu-buru bicara, membiarkan kesunyian di antara kami menemukan ritmenya sendiri. Mungkin ia masih lelah setelah perjalanan panjang, mungkin ia sedang menyesuaikan diri kembali dengan kota ini — atau mungkin, ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi belum menemukan cara yang tepat.
Lalu, tiba-tiba, ia membuka suara.
“Aku tadi sedikit melamun di pesawat…” katanya, suaranya pelan, hampir seperti gumaman. “Would you stay with me if I lost everything? My status, lifestyle, career, money, and health?”
Aku menoleh.
Pertanyaannya jatuh begitu saja di antara kami, tetapi tidak dengan ringan. Ada bobot yang sulit dijelaskan, seperti sebuah ketakutan yang selama ini tersimpan rapi, baru sekarang menemukan celah untuk keluar.
Aku mencari wajahnya dalam temaram cahaya lampu jalan, mencoba membaca apa yang tersirat di sana. Aku melihat lelah di matanya, sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar keletihan fisik.
“Kenapa tiba-tiba kepikiran kayak gitu?” tanyaku pelan.
Ia menghela napas, matanya tetap fokus pada jalan. “Mungkin karena selama ini aku sibuk dengan begitu banyak hal. Di London, aku jadi punya banyak waktu buat sendiri, buat mikir… Dan kadang aku kepikiran, kalau semua yang aku punya sekarang hilang, apa yang tersisa? Kalau aku bukan siapa-siapa, masihkah aku berarti?”
Aku terdiam.
Ada sedikit kekhawatiran di hatiku. Aku tahu ia bukan orang yang sering berbicara tentang ketakutan-ketakutannya. Dan ketika ia akhirnya melakukannya, itu berarti hal itu benar-benar mengganggunya.
Dan aku mulai bertanya-tanya… apa yang ia pikirkan selama satu bulan terakhir? Apakah kesibukannya benar-benar menyerapnya, atau justru sebaliknya — ia merasa begitu sunyi hingga pertanyaan-pertanyaan itu muncul?
Aku memutar ulang kenangan di kepala.
Aku ingat percakapan kami beberapa bulan lalu, di sebuah sore saat hujan turun pelan-pelan. Saat itu, ia bercerita tentang mimpinya, tentang harapan-harapan yang ia bangun dengan penuh semangat. Dan aku ingat bagaimana matanya berbinar, bagaimana setiap kata yang keluar dari mulutnya membawa nyawa.
Dan sekarang, aku melihat seseorang yang sama, tetapi dengan ekspresi yang berbeda — seolah ada keraguan yang perlahan merambat ke dalam pikirannya, seperti bayangan yang muncul saat senja mulai memudar.
Aku ingin menjawabnya dengan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata manis. Jadi, aku menatapnya dan berkata,
“Aku nggak mencintai status kamu, bukan juga uang atau kehidupan yang kamu bangun. Semua itu tidak mendefinisikan kamu, dan tidak mendefinisikan kita. Aku mencintai kamu — cara kamu kepikiran hal-hal kecil, cara kamu melihat dunia, cara kamu tetap menjadi diri sendiri meskipun segala sesuatu di sekelilingmu berubah.”
Ia masih diam, tapi aku tahu ia mendengarkan. Jadi aku melanjutkan, suaraku sedikit lebih pelan.
“Tapi aku juga tahu bahwa kehilangan mengubah manusia. Kesedihan bisa membentuk kita, atau menghancurkan kita. Aku tidak bisa janji kita akan tetap sama, bahwa aku tidak akan takut, bahwa tidak akan ada hari-hari sulit. Tapi selama kamu masih memilih untuk bertahan, untuk tidak menyerah pada kehampaan, aku akan tetap di sini. Aku tidak mencintai hal-hal yang bisa diambil darimu. Aku mencintai bagian dari kamu yang tetap ada, bahkan ketika semuanya hilang.”
Ia tidak langsung menjawab, hanya mengencangkan genggamannya di setir. Aku bisa melihat rahangnya mengeras sedikit, seperti seseorang yang sedang mencerna sesuatu yang lebih dalam dari yang ia kira.
Lalu, setelah beberapa saat, ia berkata pelan, “Kalau suatu hari aku berubah jadi seseorang yang berbeda, yang mungkin kamu nggak kenal lagi… apa kamu masih akan memilih aku?”
Aku menoleh, menatapnya lebih lama.
“Manusia selalu berubah, dan mungkin suatu hari kita akan berubah menjadi dua orang yang tidak lagi sama seperti sekarang. Tapi selama masih ada bagian dari kamu yang memilih untuk tetap di sini, aku juga akan memilih tetap di sini.”
Ia tak langsung menanggapi. Tapi aku melihat sudut bibirnya sedikit naik, nyaris tak terlihat. Matanya kembali ke jalan, tetapi aku tahu pikirannya masih ada di dalam percakapan ini.
Tangan kirinya perlahan terangkat, mencari tanganku di atas sandaran kursi. Aku menyambutnya, menggenggamnya erat.
Kami semua terdiam, tidak lama lagu You Decorated My Life — Kenny Rogers berputar. Itu lagu yang selalu ia katakan sebagai lagu kebahagiaannya, lagu yang membuatnya merasa benar-benar dimengerti. Karena pada akhirnya, aku memberikan warna dalam hidupnya.
Tiba-tiba, ia mulai menyanyikan bagian reff, suaranya pelan, seperti gumaman. Aku ikut menyusul, suara kami bercampur dengan suara mesin mobil yang melaju pelan.
Sesampainya di rumah, ia memarkir mobilnya di depan, mengikuti langkahku masuk ke dalam untuk beristirahat sebentar. Aku menyiapkan matcha kesukaannya — hangat, less sugar, dengan tekstur yang kental dan lembut, aroma hijaunya begitu menenangkan. Aku menuangkannya ke dalam cangkir, uap hangatnya naik perlahan, membawa aroma yang menenangkan ke seluruh ruangan.
Hari itu, karena aku pulang dari kantor lebih awal, aku sempat memasak. Aku membuat banana cheese kesukaannya, yang menurutnya adalah banana cheese cake terenak yang pernah ia coba.
Ia mengambil satu gigitan, lalu memejamkan mata sebentar, menikmati rasanya.
“Aku betul-betul rindu sekali dengan kamu,” katanya, suaranya pelan, tapi penuh dengan ketulusan yang terasa sampai ke dalam dada.
Aku menatapnya, lalu tersenyum.
Di malam yang tenang itu, di antara obrolan yang menggali lebih dalam, genggaman tangan yang saling menguatkan, dan aroma matcha yang menghangatkan ruangan, aku tahu satu hal — aku tidak akan ke mana-mana.