Pagi dimulai dengan ritual wajib: mendekatkan diri pada Tuhan, lalu bergegas ke kamar mandi. Air dingin menyentuh tubuh, membuat saya menggigil sesaat sebelum akhirnya terasa segar.
Setelahnya, kopi hitam tanpa gula adalah kunci. Sambil menggenggam selembar roti tawar, saya berdiri di depan mesin kopi, menunggu tetesan terakhir jatuh ke dalam cangkir. Mata masih setengah terbuka, pikiran saya melayang ke pertanyaan krusial: Hari ini pakai seragam batik atau bukan?
Sambil mencari ingatan yang entah terselip di mana, suara TV di ruang tamu mulai menarik perhatian saya. Berita pagi sedang membahas tagar #Indonesiagelap. Saya refleks mengerutkan dahi. Serem juga, tapi kalau dipikir-pikir lagi, saya setuju 100%. Belakangan ini memang banyak hal yang bikin geleng-geleng kepala — anggaran yang katanya efisien tapi entah efisien buat siapa, gas LPG yang makin langka, proyek pagar laut yang bikin penasaran, dan isu subsidi BBM yang katanya bakal dihapus 2027. Lalu nanti bagaimana nasib negara ini?
Saya menghela napas, lalu mengambil lipstik merah favorit. Oke, hari ini tetap harus fierce! Lipstik dicek, parfum favorit disemprotkan, TV dimatikan, dan saya pun melangkah keluar. Gerbang rumah dibuka, mobil kesayangan saya sudah menunggu di garasi. Saya masuk, berdoa supaya perjalanan hari ini aman dan — yang paling penting — tidak macet.
Playlist langsung diputar. Taylor Swift jadi soundtrack pagi ini, dan saya pun bernyanyi tipis-tipis sambil menikmati suasana Bintaro yang masih tenang. Pagi ini terasa lumayan sempurna… sampai akhirnya saya tiba di kantor dan menyadari satu hal.
Saya. Salah. Kostum.
Seragam batik yang tadi pagi sempat saya ragukan, ternyata bukan seragam yang seharusnya dipakai hari ini. Great. Just great. Saya sedikit kikuk saat berjalan menuju lift, berusaha tetap tenang sambil membawa tumbler dan tas. Selempang yang saya kenakan sengaja saya tarik sedikit lebih ke depan, berharap bisa menutupi fakta bahwa saya satu-satunya orang yang salah kostum hari ini.
Sampai di lantai 5, saya keluar dari lift dan langsung disambut senyuman bapak satpam di depan pintu ruangan saya. Dalam hati saya berdoa semoga tidak ada yang terlalu memperhatikan saya.
Tapi harapan tinggal harapan. Begitu lagu Indonesia Raya berkumandang dan semua berdiri, barulah saya sadar betapa mencoloknya diri saya di tengah lautan kemeja biru. Satu-satunya orang yang memakai batik coklat. Nice.
Hari berjalan seperti biasa. Saya bekerja selama 8,5 jam sebelum akhirnya memutuskan pulang tepat waktu — lebih cepat dari karyawan lain. Rasanya butuh sesuatu untuk menghibur diri, jadi saya mampir ke kantor sebelah untuk membeli kopi favorit saya: Ice Coffee Susu Keluarga dari FamilyMart. Less sugar, normal ice.
Setelah kopi di tangan, saya berjalan ke basement seperti biasa. Rutinitasnya selalu sama — butuh sekitar 10–15 menit untuk keluar dari basement. Biasanya saya duduk dulu di dalam mobil, menikmati musik, buka sosial media, kadang malah ketiduran sebentar sebelum akhirnya pulang.
Tapi hari ini berbeda. Saat saya melirik ke spion, ada sesuatu yang menarik perhatian. Sebuah kertas kecil tertempel di kaca belakang mobil saya.
Saya turun dan membaca tulisan di kertas itu:
“Maaf saya nyerempet mobil ini, saya akan tanggung jawab. Hubungi nomor 0821–8009-**.”
Saya mendesah panjang. Sial. Baru kemarin mobil yang satu kena, sekarang mobil yang ini.
Saat mengecek kondisi mobil, ternyata benar — lagi dan lagi ada lecet di bodi mobil saya. Why me?
Tanpa pikir panjang, saya langsung menelepon nomor yang tertera. Tidak butuh waktu lama, orangnya turun ke basement untuk bertemu saya. Dan yang lebih mengejutkan — mobilnya persis sama dengan mobil saya. Sama persis.
Dia tampak menyesal, meminta maaf berkali-kali, dan menawarkan kompensasi. Saya meng-iya-kan tanpa banyak protes, karena hari ini sudah cukup melelahkan. Saya hanya ingin pulang.
Perjalanan pulang berjalan lancar, jalanan masih cukup sepi karena belum masuk jam rush hour. Saya sempat mampir ke mini market untuk membeli beberapa kebutuhan rumah, lalu akhirnya sampai di rumah.
Begitu masuk, saya langsung melepaskan sepatu dan mengganti pakaian. Rasanya masih ada sisa energi untuk sedikit memanjakan diri, jadi saya memutuskan untuk mandi malam. Air hangat mengalir, menghapus semua lelah dan kekesalan hari ini. Setelah selesai, saya melilitkan bathrobe di tubuh, menuangkan segelas red wine, lalu menyalakan lilin aroma terapi.
Saya duduk di sofa dengan sebuah buku di tangan — novel klasik yang sudah lama ingin saya selesaikan. Tapi baru beberapa halaman, saya sadar satu hal: saya lupa mematikan kompor.
Dengan panik, saya berlari ke dapur dan — benar saja. Masakan saya gosong. Saya menghela napas panjang. Tentu saja. Sehari penuh dengan kesialan, kenapa saya masih berharap ada keberuntungan di penghujung hari?
Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak ambil pusing. Saya meraih piring, mengambil bagian yang masih bisa dimakan, dan duduk kembali di sofa. Sambil menyantap makanan dengan perasaan campur aduk, saya membuka Instagram dan mencoba mencari aktivitas pacar saya.
Tapi seperti biasa, nothing. Tidak ada jejak apa pun. Memang repot punya pacar yang jarang posting aktivitasnya di sosial media. Sekali posting pun, pasti late post. Kegiatannya hari apa, dipostingnya kapan — tidak ada yang tahu.
Saya menghela napas lagi. Untuk menghibur diri, saya mencoba bermain Nintendo Switch, tapi rasanya membosankan. Tidak ada yang benar-benar menarik perhatian saya malam ini.
Akhirnya, saya masuk ke kamar, menarik selimut, dan mencoba tidur. Tapi pikiran saya masih penuh. Saya membuka WhatsApp, scrolling chat lama dengan pacar saya, melihat foto-foto kami, lalu terdiam.
Saya memasang earphone, mendengarkan musik, membiarkan melodi mengisi keheningan kamar. Mata saya mulai terasa berat, hingga akhirnya saya tertidur sendiri.
Lucu ya, seharian ini saya sibuk dengan banyak hal, tapi tetap saja ada satu hal yang mengganggu — rindu yang tidak bisa saya sampaikan :)